Sekolah itu Membosankan
Oleh: M. Aliyulloh Hadi
Pendidikan seringkali diidentikkan dengan istilah sekolahan, paling tidak di daerah tempat saya tinggal. Ini artinya bahwa Pendidikan itu identik dengan gedung sekolah, guru, buku pelajaran, kurikulum dan tentunya biaya. Sederhananya, istilah pendidikan itu merupakan kata lain dari jenjang formal pendidikan di Indonesia, mulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan tinggi.
Pendidikan formal kita bukan tanpa masalah. Masalah yang paling kentara adalah dualisme menegemen pendidikan di Indonesia. Sektor pendidikan bukan hanya merupakan wilayah kerja dari Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), namun juga menjadi wilayah kerja Kementrian Agama (Kemenag). Kemdiknas mengayomi sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum, baik negeri maupun swasta, sedangkan Kemenag mengayomi sekolah-sekolah dan perguruan agama, juga, baik negeri maupun swasta. Kondisi tersebut, seolah menjadi penegas adanya sisa-sisa sekularisasi di sektor pendidikan nasional.
Di samping itu, permasalah lain yang juga menjadi persoalan pendidikan nasional adalah masih banyak nya lembaga-lembaga pendidikan non-formal, khususnya yang terdapat di pesantren-pesanten tradisional. Jurang pemisah antar sektor formal dan non-formal pendidikan tampak semakin nyata. Pesantren dan Madrasah Diniyah dianggap sebagai pendidikan non-formal, dan tentu hanya mendapatkan bantuan dana yang hanya “secuil” dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan formal baik yang berda di bawah Kemdiknas maupun Kemenag. Melihat fenomana tersebut, semakin menambah curam sekularisasi di sektor pendidikan di Indonesia.
Sejatinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia merupakan warisan sistem pendidikan Eropa, khususnya Belanda. Sistem tersebut merupakan adopsi dari sistem pendidikan Belanda saat terjadi politik etis di era kolonial. Sebagai negara sekuler, Belanda tentunya memisahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, namun anehnya sistem tersebut diterapkan di Indonesia, yang mayoritas merupakan ummat beragama, hingga detik ini.
Akan cukup panjang menyoal sistem pendidikan nasional. Penulis hanya ingin merefleksikan kondisi pendidikan di Indonesia dari pengalaman pribadi, sebagai salah satu ‘jebolan’ dari struktur pendidikan nasional di Indonesia.
Pertama, Sebagai orang yang pernah sekolah baik pada pendidikan formal dan non formal, saya merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Dan ini mungkin menjadi pengalaman pribadi, yang bisa jadi, juga dirasakan oleh seluruh siswa-siswa yang hari ini di gembleng di dalam gedung-gedung formal pendidikan nasional.
Saat menjadi siswa baik di MI, MTs maupun MA, saya dan hampir seluruh teman-teman yang adalah para siswa yang sangat cinta dengan hari libur. Libur merupakan surga bagi kami. Libur membuat kami bahagia, meski hanya sesaat. Bermain lebih menyenangkan dari pada sekolah. Ini berarti, secara psikologis, saya dan teman-teman saya merasa bosan dengan sekolah dan tentu proses-proses di dalammya. Saya tidak tahu, apakah ini terkait dengan kemalasan saya dan teman-teman yang lain, atau memang sekolah itu tidak menyenangkan dan membuat para siswa seringkali bosan dengan rutinitas dalm pendidikan tersebut.
Selain itu, saat proses belajar mengajar, kami sangat berharap guru tidak datang ke kelas kami, kami sangat menginginkan untuk tidak ada proses belajar mengajar. Kami merasa malas dan bosan dengan apa yang menjadi rutinitas. Tidak ada variasi, tidak ada kesenangan dan tidak ada rasa nyaman mendengarkan para Guru “menceramahi” kami. Bukan hanya itu, kami juga merasa tidak termotivasi dan cendrung tidak menikmati proses belajar mengajar tersebut. Semuanya di nilai dengan angka. Saya juga tidak tahu, apakah ini memang karena kemalasan kami, atau struktur pendidikan itu yang membuat kami tidak nyaman dan selalu merasa bosan.
Hal tersebut juga saya rasakan saat menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam di kota Malang. Perasaan yang kami rasakan saat sekolah dulu, ternyata juga kami rasakan di kampus, the center of exelent, katanya. Saya dan kebanyakan teman-teman sangat gandrung dengan hari libur, jam kosong, dan beberapa yang lain, terlelap di kelas-kelas megah kampus kami. I am bored, and I always sleepy in the class, begitulah kira-kira curahan perasaan kami saat kuliah dulu. Meski ada segelintar teman-teman kami yang sangat rajin di kelas, namun saya melihat hal tersebut karena mereka terus memaksa diri dan berusaha untuk menikmati sajian parade pendidikan dalam kampus kami, bukan karena pendidikan itu nyaman dan menyenangkan.
Saat saya dan teman-teman masih duduk di bangku MI, SMP dan SMA, bebrapa dari kami, malah mendapatkan banyak hal dari apa yang bisa disebut, informal dan tidak resmi. Kebosanan-kebosanan dalam formalisme pendidikan yang kami jalani menemukan penawar saat kami berada di lingkungan-lingkungan pendidikan informal, baik itu di pondok pesantren, ngaji sorokan, maupun lembaga-lembaga kursus yang lain yang kami ikuti. Saya secara pribadi mendapatkan api dan motivasi pendidikan malah dari lembaga informal yang tidak resmi tersebut.
Saat menjadi mahasiswa, kami juga banyak mendapatkan angin segar ketika aktif di lembaga-lembaga pendidikan informal, baik itu pembaga intra kampus maupun ekstra kampus. Dan saya merasa “sepertinya” lebih mendapatkan banyak hal dari lembaga-lembaga informal yang gratisan tersebut, ketimbang dari lembaga pendidikan formal yang menggunakan biaya yang tidak sedikit. Lebih penting lagi, saya dan sebagian teman-teman yang lain lebih menikmati proses pendidikan informal tersebut.
Dari yang informal itu, kami belajar tentang arti kehidupan, arti perkawanan, arti kemanusiaan. Dari lembaga non profit tersebut, kami belajar memahami dan mencari identitas kami sendiri, belajar menulis, termotivasi untuk mebaca, berdiskusi dan banyak hal lain yang tidak kami dapatkan di bangku-bangku formal pendidikan.
15 tahun duduk di kursi pendidikan formal, saya merasa tidak mendapatkan banyak hal, kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang sebenarnya dapat kami dapatkan dengan membaca. Sepanjang masa pendidikan formal tersebut, saya hanya memperoleh empat lembar ijazah tanda lulus. Selebihnya, saya mencari sendiri di lorong-lorong kehidupan nyata, di gang-gang sempit tempat kami tinggal bersama teman-teman yang lain.
Ya, semoga saja hal tersebut tidak dirasakan oleh sebagian besar alumni pendidikan formal di Indonesia. Karena kalau hal tersebut terjadi, tentu mereka akan sangat kecawa. Semoga menjadi renungan kita bersama, khusunya para pendidik dan elit lembaga pendidikan di negeri ini. Bahwa kebosanan-kebosanan yang mendera sebagai besar siswa dan siswi dalam proses belajar mengajar di Indonesia merupakan sinyalemen penting bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat membosankan dan jauh dari menyenangkan. Wallohu A’lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar