Sabtu, 30 Oktober 2010

Ajaran dan Tradisi

Ajaran dan Tradisi
Oleh: M. Aliyulloh Hadi

Beberapa saat yang lalu ummat Islam di Indonesia dan dunia pada umummnya, merayakan hari besar Islam, Iedul Fitri. Gegap gempita takbir mengiringi berlalunya bulan Ramadhan yang mana selama 30 hari ummat Islam -yang taat- melaksanakan ibadah puasa. Iedul Fitri di indonesia bukan hanya memiliki nilai teologis dan spritual yang mendalam, namun juga memiliki nilai sosiologis bahkan ekonomi yang dahsyat. Masyarakat kita lebih mengakrabkan diri dengan istilah "lebaran" untuk menggantikan istilah "Iedul Fitri" yang arab. Lebaran menjadi semacam 'lokus spritual' yang menstimulus munculnya kembali dimensi tradisi ketimuran. Semacam kompromi Ajaran dan Tradisi. Lebaran di Indonesia menjadi semacam perekat persaudaraan keluarga, tetangga, kerabat, sahabat dan antar sesama ummat Islam secara umum. Kita saksikan betapa lebaran telah membuat jalanan menjadi macet akibat arus mudik dan arus balik. Bagaimana kampung yang biasanya sepi menjadi sangat ramai, dan kota-kota besar yang biasanya ramai menjadi sepi. Lebaran menjadi ajang silaturrahmi yang mulai terkikis oleh modernitas kota. Lebaran di indonesia memiliki dampak sosial yang justru menyemarakkan tradisi lokal. Ketimbang perayaan Iedul Fitri di negara berpenduduk muslim lainnya, Iedul Fitri di Indonesia memiliki kesan spritual dan sosial sekaligus.

Sebagai seorang muslim, kita tentu dapat membedakan antara ajaran Islam dan tradisi. Ajaran Islam dan tradisi di Indonesia memiliki keunikan yang menarik, yakni terjadinya asimilasi bahkan persenyawaan yang sinergis. Asimilasi tersebut bisa kita saksikan bukan hanya pada momentum Iedul Fitri. Hampir semua ajaran Islam di indonesia memiliki persenyawaan kultural yang sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Misalnya tradisi Selametan, Kendurenan, Tahlil dan lain sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam di Indonesia yang dibawa secara damai oleh para muballig sufi muslim yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap khasanah tradisi lokal (local genius).

Strategi da'wah yang diterapkan oleh para penganjur Islam di Indonesia pada masa lalu adalah melakukan 'islamisasi' terhadap tradisi. Tentu saja ini merupakan suatu trobosan da'wah Islam yang cerdas dan humanis dan terbukti efektif me-muslimkan sebagian besar masyarakat Indonesia yang saat itu masih beragama Hindu-Budha dan bahkan Animisme. Penganjur Islam pada masa lalu yang lebih terkenal dengan sebutan Wali Songo, telah berhasil menyentuh dimensi esotoris Islam sehingga islamisasi yang terjadi saat itu terjadi secara wajar, alami, pelan-pelan namun pasti.

Tentunya ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita ummat Islam pada umumnya bagaimana sesungguhnya model da'wah Islam yang efektif. Metode da'wah Wali Songo bisa menjadi rule model dalam menjaga Islam yang hingga hari ini membuat Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia.

Selain itu, Wali Songo juga berhasil mendirikan kerajaan Islam di jawa yang menjadi legitimasi formal islamisasi di indonesia khususnya di Jawa. Demak Bintoro menjadi simbol bagaimana strategi da'wah yang diterapkan untuk mengislamkan nusantara juga terjadi melalui jalur-jalur kekuasaan politik. Meski tidak berlangsung begitu lama (akibat agresi portugis dan kolonialisasi belanda), kerajaan Islam tersebut memiliki arti strategis bagi islamisasi yang terjadi di Indonesia. Kalau boleh berandai-andai, seandainya tidak ada kolonialisasi eropa di nusantara, sangat mungkin Indonesia sekarang ini masih menjadi kerajaan Islam warisan Demak Bintoro. Namun juga seandainya tidak ada era kolonial, sepertinya tidak akan ada yang namanya negara indonesia.

Kembali lagi ke soal tradisi. Sebagai seorang muslim yang baik, tentu kita harus membedakan mana tradisi dan mana yang ajaran Islam. Ini penting sebagai bentuk manifestasi Tauhid. Pemahaman kita terkait dengan ajaran Islam dan tradisi akan membuat kita ber-Islam dengan banar tanpa harus kehilangan jati diri sebagai mahluk kultural.

Ajaran Islam yang paling pokok adalah Tauhid. Tauhid mengajarkan bahwa Alloh itu Esa. Tauhid mengajarkan kita bahwa kita hanya mengabdi kepada Alloh, hanya kepada Alloh. Tidak ada sekutu dan tidak boleh menyekutukan-Nya. Hanya kepada-Nya kita berlindung dan hanya kepada-Nya lah kita meminta pertolongan. iyyaka na'budu waiiyaka nasta'in.

Tauhid, yang termanifestasikan dalam syahadat, memiliki dua konsekuensi, yaitu negasi dan konfirmasi. Lailaha adalah sikap menegasikan semua tuhan-tuhan kecil yang berada di sekeliling kita, sedangkan Illalloh merupakan konformasi, peneguhan bahwa hanya Alloh lah Tuhan yang wajib disembah. Bukan Harta, bukan Dunia, bukan pula Ideologi. Hanya Alloh lah tempat untuk menyembah. Tauhid dalam Islam menjadi "The Mother of doctrines", yang menjadi parameter keimanan seorang muslim. Inilah yang membuat Marshall Hudson menyebut islam sebagai "strict monotheism", monotheisme ketat dan murni. Monotheisme tanpa kompromi, tidak rumit dan tanpa ilusi penafsiran sebagaimana yang terjadi pada konsep trinitas nasrani.

Tradisi adalah produk sosiologis manusia. Tradisi merupakan sistem nilai yang terbentuk dari proses interaksi dan sosialisasi manusia. Jadi perbedaan yang mendasar antara ajaran dan tradisi adalah bahwa tradisi adalah sistem nilai yang terbentuk dan tercipta oleh manusia, sedangkan ajaran adalah tata nilai dan aturan yang diciptakan oleh Tuhan yang menjadi basis teologis agama tertentu. Dalam konteks Islam di Indonesia, tradisi menjadi media manifestasi ajaran Islam dan sebaliknya ajaran islam juga menjadi media manifestasi tradisi. Ajaran Islam dan tradisi di Indonesia menjadi 'rukun', dan sinergis. sederhananya, tradisi di Indonesia telah di Islamkan. Sesuatu yang 'sekuler' menjadi sangat relijius, karena disisi dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Sehingga, sebenarnya watak dasar Islam di Indonesia adalah Islam yang mengedepankan subtansi ajaran, lebih mengedepankan dimensi esoteris ketimbang eksoteris agama, lebih memperhatikan content ketimbang chasing ajaran. Islam di Indonesia merupakan model dari Islam tengah yang sangat toleran, moderat, sangat menghargai tradisi, dan bahkan dalam beberapa hal, menyatu dengan tradisi itu sendiri. Model seperti inilah yang membuat Islam di Indonesia mampu bertahan ratusan tahun, menjadi model Islam Rahmatan lil'alamin, menjadi pelopor Islam yang menghargai perbedaan dan kebinekaan tradisi. wallohu'alam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar