Kamis, 28 Oktober 2010

Media, Artis dan Modal

Media, Artis dan Modal
M. Aliyulloh Hadi

Beberapa dari kita mungkin kaget ketika mengetahui bahwa pendapatan seorang artis dalam setiap bulannya melebihi pendapatan seorang bupati, menteri bahkan seorang presiden sekalipun. Sule Misalnya, artis dan komedian Opera Van Java memiliki penghasilan 1 milyar setiap bulannya. Demikian pula Tukul arwana, host program Bukan empat mata, juga memiliki pendapat yang sangat tinggi, lebih dari 1 milyar setiap bulannya. Bayangkan saja, berarti sule dan tukul memiliki pendapatan 12 miliyar setiap tahunnya, itu belum pendapatan dari iklan dan kontrak-kontrak komersial lainnya.

Mungkin kita akan bertanya-tanya, bagaimana bisa profesi seorang artis di dunia hiburan menjadi sangat prestisius, paling tidak dalam hal perolehan materi. Bukankah sebenarnya masih banyak profesi yang 'lebih' memiliki manfaat sosial yang sangat tinggi meski apresiasi secara material sangat kurang, guru ngaji misalanya. Realitas tersebut adalah sebuah fakta yang terjadi di sekitar kita hari ini dan saat ini.

Realitas profesi artis yang saat ini menjadi trend dan impian hampir kebanyakan kaula muda inilah yang tentu membuat kita perlu merenungkankannya sejenak, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Note pendek ini berusaha meraba-raba fenomena tersebut. Sebagimana dikatakan Marshall Mcluhan (1962) bahwa penemuan teknologi elektronik menciptakan loncatan-loncatan peradaban manusia yang merubah pola pikir dan perilaku masyarakat, bahkan dapat merubah peradaban manusia itu sendiri. Mcluhan menyebutnya dengan Technological Determinism (determinisme teknologi). Inilah mungkin teori yang dapat menjelaskan kepada kita bagaimana memandang fenomena Media dan Artis.

Sederhananya, bahwa penemuan tekhnologi terutama teknologi digital baik televisi maupun internet telah merubah tatanan sosial tradisional, termasuk di dalamnya merubah struktur dan konstruksi sosial yang sudah mapan. Sebelum ditemukannya televisi, seorang artis tradisional hanyalah profesi yang tidak lebih baik dari seorang pedagang asongan yang menjajakan 'seni' nya. Saat itu, apresisi terhadap dunia hiburan hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu.

Ini sangat berbeda dengan dunia hiburan di era mutakhir seperti sekarang ini. Di era modern, dunia hiburan menjadi konsumsi setiap hari. Sistem kapitalisme liberal membuat dunia hiburan semakin menjamur dan laris manis. Menjadi komoditas yang menggiurkan. Media, Hiburan, Pruduksi, konsumsi dan modal menjadi sangat berkaitan dan saling menopang satu dengan yang lainnya. Sistem operasi nya sebagai berikut; Media menyajikan hiburan dan bebagai macam acara, Kapitalis menyewa media dengan memasang iklan komoditas yang akan dijualnya, pemirsa menyaksiakan acara hiburan tersebut dan sekaligus melihat iklan, dan -- kebanyakan ndari mereka --terpengaruh. Akhirnya pemirsa membeli produk yang diiklankan.

Begitulah perputaran kapital dalam dunia bisnis media modern. Artinya, sebenarnya yang membayar Sule dan Tukul itu adalah Penikmat televisi yang membeli produk-produk yang diiklankan. Saya membayangkan, Seandainya saja terjadi mogok Nasional untuk tidak menonton televisi dan itu berhasil barang sebulan saja, saya yakin bisnis media akan kolaps dan gulung tikar.

Maka sebagai pemirsa media yang bijak, tentu kita perlu memilih secara cerdas tanyangan mana yang baik dan mana yang tidak baik, produk mana yang memang dibutuhkan untuk dibeli, dan mana yang tidak. janganlah kita membeli produk-produk kapitalisme hanya berdasakan asas 'perlu'. Karena menurut Marx, Kaum kapitalis itu piawai menyulap segala sesuatu menjadi komoditas (Fetism of Coomodity). Dan pasti nya kita telah tertipu, kalau kemudian kita menjadi sangat konsumeris. Wallu'alam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar