Senin, 22 November 2010

Ini Gelarku, Mana Gelarmu?

Ini Gelarku, Mana Gelarmu?
Oleh M. Aliyulloh Hadi

Beberapa bulan yang lalu sempat menggelinding wacana pemberian gelar pahlawan kepada SBY. Wacana ini tentu sangatlah kontroversial ditengah persoalan multi dimensional yang mendera bangsa Indonesia. Adalah Ricky Rachmadi, direktur ekskutif "Center for Information and Development Studies" (Cides), yang menggelindingkan wacana perlunya memberikan gelar "pahlawan kesejahteraan" kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan yang dikemukakannya adalah perlunya bagi SBY memiliki 'legasi' (karya-karya besar) untuk ditinggalkan agar dikenang sepanjang masa. Usulan tersebut tentunya sangat kontroversial di tengah kondisi bangsa yang dirundung problem sosial-ekonomi tak berkesudahan. Beberapa orang dekat presiden menyambut baik wacana tersebut, namun juga tidak sedikit yang menolaknya mentah mentah dan menganggapknya sebagai wacana sampah serapah.

Parameter yang diajukan oleh Rickypun terkesan sangat dangkal dan asal asalan. Berbagai program SBY yang pro peningkatan kesejahteraan rakyat, di antaranya pemberian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dianggap sebagai keberhasilan SBY dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Memang benar pemerintahan di bawah SBY memiliki sejumlah program pro rakyat yang telah berjalan di seluruh Indonesia. Namun menyimpulkan program-program tersebut telah berhasil mensejahterakan rakyat merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa. Ini bisa kita lihat dari belum adanya indikator keberhasilan program tersebut dalam mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Sebagaimana dilansir oleh BPS (2010), angka kemiskinan di Indonesia mencapai 14,15 persen, tidak jauh berbeda dengan persentase jumlah kemiskinan di tahun-tahun sebelumnya. Angka pengangguran pun masih cukup tinggi berada dikisaran 7,87 persen. Dana yang digunakan dalam program-program tersebut pun sebagian besar merupakan dana yang bersumber dari hutang negara.

SBY memang memiliki banyak prestasi bagi bangsa ini, terutama dalam proses demokratisasi dan stabilitas keamanan nasional. Namun SBY bukannya tanpa masalah. Utang Indonesia saat ini berjumlah Rp 1.625 triliun dan rezim SBY jadi pengutang terbesar. Meskipun sudah merdeka sejak 1945, Indonesia ternyata masih terbelenggu utang yang sangatlah besar. Dengan utang sebesar itu, setiap bayi indonesia yang lahir dan selamat harus menanggung utang Rp 7,5 juta. Indikator pertumbukan makro ekonomi kita memang kelihatannya bagus, namun perhatikanlah anjloknya mikro ekonomi nasional bangsa ini. Bukankah jumlah kemiskinan di negeri ini masih teramat tinggi. Lantas,dimana subtansi rencana pemberian gelar"pahlawan kesejahteraan" itu? Bukankah bangsa ini sejatinya belum sejahtera?

Di sisi lain, kondisi kesejahteraan aparatur negara cendrung mengalami kenaikan yang signifikan. Gaji presiden dan pejabat tinggi negara lainnya di tahun 2010 naik rata-rata 20 persen. Ini menjadi ironi di tengah kondisi masih banyak rakyat Indonesia yang untuk makan saja susahnya minta ampun, bahkan ada yang sampai berani mencuri rel kerata api untuk sekedar membeli beras, sungguh ironis. Masyarakat akan menilai, layakkah gelar "bapak kesejahteraan" itu? Karena faktanya, saat ini hanya "sang bapak" yang sejahtera.

Kekuatan Simbol
Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara lima mantan presiden, ada dua orang yang mendapat gelar kehormatan secara resmi. Mereka adalah Soekarno yang digelari Pahlawan Proklamator dan Soeharto yang diberi predikat Bapak Pembangunan. Penganugerahan gelar pahlawan proklamator kepada Soekarno tersebut terjadi di era pemerintahan Soeharto berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres)No 81 Tahun 1986. Melalui keppres tersebut, gelar pahlawan proklamator juga dianugrahkan kepada Mohammad Hatta, yang sekaligus memperoleh gelar sebagai bapak koperasi Indonesia. Sementara itu, mantan Presiden Soeharto dianugerahi gelar Bapak Pembangunan Republik Indonesia melalui Tap MPR No V Tahun 1983.

Legasi atau pemberian simbol kepada presiden yang sedang menjabat bukan hanya tidak tepat, tapi juga berbahaya. Apalagi wacana pemberian gelar "bapak kesejahteraan"bagi SBY muncul di tengah kehidupan rakyat indonesia yang serba sulit, jauh dari sejahtera. Gelar tersebut bukan hanya akan menjadi beban moral bagi SBY sendiri dalam bekerja, namun juga bagi bangsa indonesia secara umum dalam menilai kinerja pemerintah.

Simbol bukanlah sesuatu yang biasa. Simbol memiliki kekuatan magic yang mampu mengkooptasi pikiran manusia. Dari sejarah kita berkaca bagaimana kuatnya simbol itu. Bagaimana Gandhi menjadi simbol perlawanan rakyat India, bagaimana Che Guevara menjadi simbol perlawanan kaum sosialis kiri di Amerika Latin, dan bagaimana Mandela menjadi simbol perjuangan rakyat Afrika di era apartheid. Simbol adalah akumulasi dari nilai yang diperjuangkan secara continue, konsisten dan mengkristal menjadi instrumen pemersatu sebuah gerakan. Simbol bukan lah sesuatu yang taken for granted yang dengan mudah disematkan dipundak seseorang. Simbol adalah pengakuan dan predikat yang diberikan oleh rakyat karena jasa dan prestasinya.

Sebenarnya ada banyak pintu bagi seorang tokoh untuk mendapatkan gelar. Ada gelar resmi yang diberikan oleh Negara, dianugerahkan oleh tokoh lain dan ada pula gelar yang merupakan aspirasi masyarakat terhadap jasa dan pengorbanan seseorang. Namun dalam konteks negara demokrasi, seorang presiden tidak sepatutnya menjadi simbol terhadap apa yang sedang ia upayakan. Seorang presiden bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya. Kalau hasil kinerjanya sudah dinilai sebelum pekerjaannya tuntas, maka buat apa kemudian seorang presiden itu bekerja, toh hasilnya sudah dinilai "berhasil" mensejahterakan rakyatnya.logika sederhana ini kiranya cukup untuk membantah bahwa simbolisasi presiden dengan menganugrahkan gelar "bapak kesejahteraan" di saat masih menjabat merupakan salah satu produk sesat pikir.

Akhirnya, usulan penganugrahan gelar "bapak kesejahteraan" oleh seseorang atau lembaga tertentu memang tidak dilarang dan itu sah sah saja. Namun ada baiknya kita berpikir secara lebih jernih tentang signifikansi gelar tersebut bagi bangsa dan negara. Tentu sangat disayangkan jikalau usulan itu hanyalah merupakan lips service atau hanya manuver politik belaka, terlebih usulan tersebut muncul dari bibir salah seorang fungsionaris partai politik peserta koalisi pemerintah yang terkenal piawai memainkan positioning dan bargaining politik. walluhu a'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar