Senin, 01 November 2010

Kontroversi Praktek Prostitusi

Kontroversi Praktek Prostitusi
Oleh: M. Aliyulloh Hadi

Beberapa hari yang lalu, dalam salah satu harian nasional, saya membaca salah satu berita yang menurut saya, aneh tapi nyata. Berita tersebut menceritakan tentang suksesi pemilihan ketua RW di salah satu kecamatan di Surabaya. Pemilihan ketua RW tersebut sangat semarak. Warga sangat antusias menggunakan hak pilihnya. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya partisipasi masyarakat dalam suksesi tersebut. Di salah satu RW, misalnya, total jumlah pemilihnya sebanyak 458 KK dan yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 427 KK, angka yang fantastis. Pesta rakyat kecil di tingkatan RW tersebut dapat mendorong partisipasi politik masyarakat. Tentu ini menjadi rekor, terutama jika dibandingkan dengan pemilukada yang rata-rata memiliki angka golput mencapai 40% hingga 70%.

Untuk mengantisipasi terjadi kisruh dalam suksesi RW, aparat kepolisian bahkan menurunkan satu pleton anggotanya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Sempat terjadi keributan di antara calon ketua RW yang menang dan yang kalah, bahkan nyaris saja terjadi bentrok antara pendukung mereka masing-masing. Untung saja aparat dan tokoh setempat segera melerai perselisihan yang hampir saja menimbulkan kekerasan fisik. Fenomena ini bisa dikatan menjadi sangat unik, dan dalam konteks demokrasi, merupakan salah satu model suksesi kepemimpinan tingkat paling basis yang "istimewa".

Hal tersebut terjadi karena daerah tersebut memang bukanlah sembarang RW, bukan semabarang kelurahan dan bukan sembarang kecamatan. RW tersebut ternyata merupakan pusat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, "surga dunia", ya, Wisma Dolly namanya. Inilah maksud saya tadi yang menyebutkan fenomana ini sebagai aneh tapi nyata. Harian tersebut juga menjelaskan alasan kenapa jabatan sebagai ketua RW di daerah tersebut merupakan Jabatan, yang gengsinya, tidak kalah dengan Lurah ataupun Camat.

Dijelaskan bahwa tempat bagi pria "hidung belang" tersebut membawa "berkah" tersendiri bagi warga sekitar. Bayangkan, setiap malamnya "Geng RW" di daerah Dolly bisa mengumpulkan uang sebesar 2 juta rupiah. Uang tersebut didapatkan dari "retribusi lokal", mungkin semacam pajak keamanan yang digunakan untuk mengisi kas RW setempat. Artinya, secara material, warga sekitar merasa diuntungkan dengan adanya pusat prostitusi tersebut, yang kalau dihitung secara kasar, dalam satu bulan RW tersebut dapat mengumpulkan uang sebesar 60 juta rupiah. Angka yang sangat besar jika dibandingkan dengan lingkungan RW lain yang terdapat di kota surabaya.

Inilah tentunya yang menjadikan jabatan sebagai ketua RW disana diperebutkan. Banyak dari warga yang mengincar jabatan sebagai ketua RW di daerah tersebut. Bahkan Ketua RW incumbent yang sudah 2 periode "berkuasa", karena tidak dapat mencalonkan lagi sebagai ketua RW, mencalonkan lagi sebagai wakil ketua RW. Mirip dengan pencalonan Wali kota Surabaya incumbent yang mencalonkan diri sebagai wakil walikota dalam pemilihan walikota-wakil walikota surabaya beberapa bulan yang lalu, karena telah menjabat selama dua periode berturut-turut.

Ini adalah fenomena sosial yang secara telanjang dapat kita saksikan bersama. Ditilik dari perspektif sosiologis, telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi di masyarakat. Orang tidak lagi merasa malu ataupun terganggu hidup di sekitar tempat prostitusi. Materi dan kebiasaan telah membungkam rasa malu tersebut. Kata orang bijak "kesalahan yang diulang-ulang secara terus menerus akan menjadi kebenaran", tentu kebenaran dalam tanda kutip. "Berkah" material yang didapatkan dari lokalisasi membuat masyarakat sekitarnya seolah-oleh membiarkan bahkan meng-iyakan praktek perzinahan yang dilegalkan oleh pemerintah tersebut.

Terlepas dari kontroversi praktek lokalisai di indonesia yang hingga hari ini masih menuai pro-kontra di masyarakat, gejala sosial semacam ini, menurut Durkheim, merupakan sebuah anomali sosial, semacam penyimpangan nilai-nilai sosial akibat penetrasi budaya urban. Dampak negatif dari praktek prostitusi yang dilokalisir tersebut, tidak hanya memiliki implikasi terhadap moralitas pemakainya, namun juga berdampak kepada bergesernya nilai-nilai sosial masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut secara nyata dapat kita saksikan bersama.

Dalam perspektif Agama apapun, tentu prostitusi adalah dosa dan kejahatan kemanusiaan. Sehingga, menurut penulis, tidak menarik lagi memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas-jelas terlarang tersebut. Secara sosiologis, masalah tersebut sempat memecah pendapat masyarakat dan pemerintah, paling tidak, menjadi dua kutub yang berseberangan. Kelompok pertama menilai bahwa, segala sesuatu yang jelas-jelas melanggar nilai-nilai agama dan nilai-nilai susila harus dilarang. Tidak ada kompromi kalau sudah tentang moralitas bangsa. Terlebih lagi, Indonesia merupakan bangsa yang bertuhan beragama.

Namun kelompok lain berpendapat bahwa segala sesuatu pastinya memiliki limbah, termasuk prilaku manusia. Prostitusi merupakan limbah sosial dalam masyarakat yang seharusnya dilokalisir. Ini dimaksudkan supaya prilaku menyimpang tersebut tidak menyebar di berbagai tempat, yang dihawatirkan, menimbulkan dampak sosial yang semakin luas. Dari sinilah kemudian muncul istilah lokalisasi.

Di era otonomi daerah, ada beberapa kota kabupaten yang melarang praktek prostitusi, namun juga tidak sedikit yang melegalkannya. Beberapa kota kabupaten yang melarang praktek prostitusi melalui peraturan daerah misalnya terdapat di Kabupaten Lahat, melalui perda No. 3 Tahun 2002, Perda Kota Bandar Lampung No 5/2002, Perda Kota Tangerang No 8/2005, Perda Kabupaten Indramayu No 7/1999, Perda Kabupaten Cilacap No 21/2003, Perda Kota Kupang No 39/1999, Perda Kota Palembang No 2/2004, dan Perda Kota Bengkulu No 24/2000 (http://pemerintahan-indonesia.infogue.com/menilik_peraturan_daerah_tentang_prostitusi).

Meskipun dalam Convention for the Supression of the Traffic to Person and of the Prostituion of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984), perdagangan perempuan dan prostitusi dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa Kota yang melegalkan praktek prostitusi, salah satunya adalah kota Jakarta dan Surabaya. Selain untuk melokalisir praktek prostitusi dan juga melokalisir dampak material dan non material yang ditimbulkan, prostitusi merupakan bisnis yang mendatangkan devisa milyaran bahkan triliyunan rupiah tiap tahunnya. Alasan yang terakhir inilah tampaknya yang membuat pemerintah kota surabaya bersikeras, hingga detik ini, melegalkan praktek prostitusi di wisma Dolly Surabaya.

Menurut pendapat saya, seharusnya praktek prostitusi yang ada di Indonesia tidak seharusnya dilokalisir, karena bagaimanapun, melokalisir prostitusi sama halnya dengan melokalisir prilaku menyimpang di masyarakat. Prilaku menyimpang tidak boleh dibiarkan apalagi dilokalisir. Alasan bahwa prostitusi merupakan fakta sosial yang tidak bisa dibantahkan dan tidak bisa dihindari, menurut saya, bukanlah alasan yang jujur. Negara, dalam hal ini, pemerintah memiliki kekuasaan dan wewenang sepenuhnya untuk melindungi masyarakat luas dari prilaku sosial yang menyimpang.

Menurut hasil studi yang dilakukan LPPM Universitas Airlangga (Unair) Surabaya (2005), menemukan bahwa perempuan yang masuk dalam bisnis seks biasanya dipaksa oleh gabungan berbagai faktor dan kondisi lingkungan: tekanan kemiskinan, kekecewaan karena love affair yang gagal, kurangnya kesempatan kerja di pasar kerja, bias nilai patriarkhis, tawaran gaya hidup hedonis, serta kondisi psikologis perempuan yang rentan terhadap penipuan, pemaksaan, dan tekanan-tekanan (http://lingkaran-koma.blogspot.com/2010/05/mengintip-praktik-prostitusi-di.html).

Namun demikian, sebenarnya profesi sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK), bukanlah satu-satunya harga mati pilihan profesi seseorang, masih banyak profesi yang lebih bermartabat yang bisa diambil. Prilaku dan praktek asusila tersebut semakin merajalela karena pemerintah tidak tegas dalam mengatur prilaku menyimpang tersebut. Kalau boleh berburuk sangka, sepertinya keuntungan material yang didapatkan, menjadi alasan utama legalisasi tempat prostitusi. Meski sebenarnya pemerintah masih memiliki banyak cara untuk menghindari legalisasi praktek prostitusi.

Langkah yang dapat diambil, misalnya, adalah dengan memberikan penyuluhan khusus kepada mereka yang sudah terlanjur menjadi PSK dengan cara memberikan pekerjaan baru ataupun memberikan keterampilan sehingga, secara perlahan, mereka mampu keluar dari kubangan prostitusi. Di samping itu, pemerintah juga harus membuat peraturan yang tegas tentang pelarangan praktek prostitusi dalam bentuk apapun. Dan yang terpenting lagi memberi sangsi seberat-beratnya terhadap mereka yang terlibat dalam praktek prostitusi, baik itu penyedia layanan, maupun pemakai layanan tersebut. Wallohu'alam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar