Senin, 01 November 2010

Pluralisme dan Kerukunan Beragama

Pluralisme dan Kerukunan Beragama
Oleh: M. Aliyulloh Hadi


Pluralisme merupakan istilah yang tidak asing bagi mereka yang terus mengikuti perkembangan pemikiran keagamaan. Istilah tersebut pada mulanya merupakan sebuah faham yang menegaskan bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam perbedaan, aneka warna pemahaman dan kehidupan yang sangat beragam. Tentu faham tersebut pada mulanya merupakan faham yang memiliki relevansi dengan realitas kehidupan manusia. "Sesungguhnya Alloh menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berngsa-bangsa". Tuhan telah menciptakan keragaman yang luar biasa. Kita bisa saksikan bagaimana Tuhan menciptakan jutaan spesies di langit dan di bumi, kita juga bisa saksikan bagaimana Tuhan telah menciptakan beragam tumbuh-tumbuhan yang menakjubkan. Dalam konteks kemanusiaan, Tuhan juga telah menciptakan manusia dalam berbagai suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang beraneka ragam. Ini semua sebenarnya menjadi pertanda kebesaran Tuhan bagi mereka yang berfikir dan berilmu.

Dalam perkembangan selanjutnya, Pluralisme tersebut menjadi istilah yang biasa digunakan oleh para pemikir Islam untuk mengidentifikasi keanekaragaman keyakinan dan agama di dunia. Kalau kita mengikuti perkembangan pemikiran Islam, kita tentu sudah sering mendengar istilah Pluralisme Agama yang banyak disebutkan dan ditulis dalam beberapa buku pemikiran Islam, ataupun disampaikan dalam diskusi-diskusi publik keagamaan. Bahkan belum lama ini, Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, menganugrahkan gelar Pahlawan Pluralisme kepada Pemikir Islam dan mantan presiden RI keempat, KH. Abdurrahman Wahid, meski kemudian keluarga besar KH. Hasyim Asy'ari dan Tokoh NU dengan susah payah mengklarifikasi definisi pluralisme yang dianut oleh Gus Dur versi mereka.

Dalam konteks pemikiran Islam di indonesia, Ahmad Wahib dianggap sebagai pelopor faham pluralisme agama. Meski Epistimologi pengatahuan yang dibangun oleh Ahmad Wahib, oleh beberapa kalangan, dianggap belum selesai (karena dia keburu meninggal di usia yang masih sangat muda). Namun hampir semuanya sepakat bahwa dia lah peletak dasar-dasar paham pluralisme agama di indonesia melalui bukunya yang sangat kontroversial, "Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib".

Pluralisme Agama, sepengetahuan saya, merupakan istilah yang secara akademis dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, Mantan Ketua Umum PB HMI dan Pendiri Yayasan Paramadina. Cak Nur, begitu biasanya orang memanggilnya, merupakan tokoh dan pemikir Islam yang sangat getol menganjurkan kerukunan antar ummat beragama di Indonesia. Berbeda dengan pemikir Islam yang lain, Cak Nur memiliki basis keilmuan agama yang kuat. Kemampuannya berbahasa arab dan bahasa inggris membuatnya mampu meramu pemikiran islam klasik dengan pemikiran modern hingga menjadi pemikiran yang akademis dan rasional. Dia mampu menunjukkan bukan hanya dalil dalil rasionalitas, namun juga sangat piawai dalam menyajikan doktrin-doktrin agama dalam konteks modernitas.

Dalam konteks Pluralisme, Cak Nur mampu menunjukkan Dalil Al-Qur'an yang mengajarkan kepada ummatnya tentang makna Islam dan Iman. Inilah dua kata kunci yang menjadi pembahasan panjang lebar tentang 'pertemuan semua agama'. Cak Nur, misalnya, menafsirkan makna Islam dalam ayat "Innaddina Indallohil Islam" sebagai sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan, bukan Islam sebagai sebuah agama. Ini membawa konsekuensi bahwa Apapun agama seseorang, asalkan dia selalu pasrah kepada Tuhan, maka dia termasuk dalam katagori Islam.

Selain itu, Cak Nur juga meyakini bahwa semua agama itu memiliki misi kebenaran dan keselamatan. Asalkan seseorang beriman kepada Tuhan dan berbuat baik, maka dia termasuk Islam. Dalam hal ini, Cak Nur berusaha menjelaskan bahwa parameter keimanan seseorang itu termanifestasikan dalam perbuatan baik. Keimanan kepada Tuhan itu membawa manusia kepada kebaikan. Islam menyebutnya dengan Ihsan. Jadi, Pondasi keberagamaan dalam Islam itu adalah, percaya kepada Tuhan (iman), selalu pasrah (berserah diri) kepada Tuhan(Islam) dan berbuat baik (Ihsan). Innalladzina Amanu Wa'amilusholihati watawashou Bilhaqqi Watawashow Bis-shobr. (Untuk lebih jelas, monggo diperdalam lagi dalam bukunya Cak Nur, "Islam Doktrin dan Peradaban")

Pemahaman inilah yang membuat Cak Nur 'didaulat' sebagai pemikir muslim yang meyakini kebenaran agama lain selain Islam, agama yang sampai akhir hayatnya dia anut. Sebenarnya saya tidak begitu mengetahui secara pasti apakah definisi pluralisme agama, menurut Cak Nur, adalah faham yang meyakini bahwa semua agama itu benar dan membawa misi keselamatan. Hal ini karena Cak Nur juga pernah melontarkan wacana 'Relativisne Eksternal'. Namun sejauh yang saya amati bahwa pemikiran Cak Nur tentang "kalimatun sawa", persamaan antar agama inilah yang kemudian menjadi acuan tentang pluralisme agama di indonesia.

Saya adalah pengagum Pemikiran Cak Nur, terutama Pemikiran Ke-islam-an, Ke-modern-an dan Ke-indonesia-an. Disamping itu, saya mengagumi pribadinya yang santun, berakhlak mulia dan taat menjalankan agamanya. Namun demikian, saya tidak sependapat dengan pemikiran tentang persamaan agama. Dalam hal ini, saya berbeda pandangan dengan Cak Nur, bila memang dia benar-benar berkeyakinan bahwa apapun agama yang kita anut, asalkan kita percaya kepada Tuhan, selalu tunduk dan pasrah kepada Tuhan serta selalu melakukan perbuatan baik, maka seseorang tersebut termasuk Islam dan selamat.

Pemikiran semacam inilah yang kemudian melahirkan faham relativitas kebenaran. Relativitas kebenaran berarti bahwa semua yang ada di dunia ini termasuk keyakinan yang kita anut, adalah relatif kebenarannya, karena yang benar secara absolut hanyalah Tuhan. Pemahaman yang menyakini bahwa semua agama itu benar dan bisa meyelamatkan seseorang (truth & salvation Mission).

Menurut pendapat saya, keyakinan seperti itu sangatlah naif dan norak. Sebagai seorang muslim yang berakal sehat, seharusnya kita menyakini dan mengikuti sesuatu karena kita yakin betul bahwa apa yang kita ikuti itu adalah benar. Bagaimana kita meyakini dan mengikuti sesuatu yang kita anggap tidak pasti benar (relativisme agama), bukankah itu berari kita memaksakan diri untuk meyakini sesuatu yang kita sendiri meragukannya? Saya pikir itu bukanlah sikap yang jujur dari seorang yang berakal sehat.

Menurut saya, dasar kerukunan beragama tidaklah harus dengan mendelegitimasi kebenaran sebuah agama dengan cara mengakui kebenaran agama diluar agama yang kita anut. Islam mengajarkan untuk menghormati keyakinan agama lain, namun bukan dengan cara mengakui kebenaran agama lain tersebut. Agamamu agamamu, dan agamaku ya agamaku. Lakum Dinukum Waliadin, begitulah kira-kira.

Saya berkeyakinan bahwa agama yang benar dan menyelamatkan itu adalah agama Islam. Ini bukan hanya karena saya, hingga detik ini, menganut agama Islam, namun lebih dari itu, sebagai seorang yang berakal sehat, tentu kita akan mengikuti sesuatu yang kita yakini kebenarannya. Doktrin "Innaddina Indallohil Islam", menurut saya, adalah petunjuk Tuhan yang terang benerang. Penafsiran tentang makna Islam secara etimologis, sebagai sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan (meski tidak beragama Islam), seperti yang diajarkan oleh Cak Nur, menurut saya terlampau jauh dari teks dan konteks ayat. Bukankah Rosululloh selalu mengajak seluruh manusia untuk ber-Islam. Dia tidak pernah meyuruh ummatnya untuk mengikuti agama lain selain Islam. Ini berarti, Rosululloh Muhammad, pembawa wahyu terahir, Penafsir Al-Qur'an yang paling otoritatif, hanya mengajarkan kepada ummatnya bahwa Islam lah (dalam arti agama) merupakan satu-satunya agama yang diterima oleh Alloh, paska diutusnya nabi Terahir. "Alyauma Akmaltu lakum Dinakum Waatmamtu A'laikum Nikmati Waroditu Lakumul Islama Dina".

Dengan Demikian, Pemikiran para Pluralis di Indonesia, terutama yang hingga hari ini, dengan sangat massif, digalakkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), khususnya tentang Pluralisme agama, menurut saya, terlampau jauh dan Absurd. Saya tidak berani mengatakan sesat apalagi kafir, karena tidak baik menilai orang lain yang memiliki perbedaan pemahaman dengan kita. Karena orang yang memiliki sikap dengan sangat mudah menyesatkan dan mengkafirkan pemahaman orang lain, biasanya sering terjerumus pada sikap 'Khowarijisme', yang gemar dengan kekerasan fisik dan seringkali menghalalkan darah saudaranya meski dalam satu iman.

Dalam Hal ini saya merasa nyaman dengan keyakinan saya sendiri, tidak sependapat dengan beberapa pemikiran yang terlampau liberal, namun juga tidak mau terjerumus dalam sikap mudah menyesatkan dan mengkafirkan orang lain. Semoga ini jalan yang diridhoi oleh Alloh, Tuhan yang saya sembah hingga detik ini. Wallohu A'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar