Jumat, 05 November 2010

NKRI dan Negara Islam

NKRI dan Negara Islam
Oleh: M. Aliyulloh Hadi

Gerakan 'Islam Politik' yang semakin hari semakin ekspansif dan massif akhir-akhir ini membuat saya teringat pertemuan saya dengan salah satu 'dedengkot' aktivis mahasiswa pegiat gerakan Islam politik pada 2004 silam. Aktivis tersebut kebetulan adalah salah satu teman satu almamater - dan saya kenal sejak semester pertama angatan 2001 - yang bergabung dengan salah satu gerakan Islam yang memiliki keinginan untuk mendirikan 'imperium' Khilafah Islamiyah di indonesia. Saat itu kami sama-sama aktivis mahasiswa, cuma kami memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan manifesto politik Islam di Indonesia.

Teman saya tersebut adalah teman yang tekun dan cerdas. Penguasaan literature keislamannya terutama hal-hal yang terkait dengan gerakan Islam memang sudah tidak diragukan lagi. maklum, dia adalah aktivis organisasi islam politik tersebut sejak di SMA. Bisa dikatakan dia adalah intelektualis dan mentor gerakan Islam politik di kampus kami. Bahkan dia memiliki lembaga kajian Islam di kampus yang memiliki pengikut dan pengaruh yang lumayan, terutama bagi mereka yang terpengaruh oleh ide-ide negara islam dan Khilafah Islamiyah.

Setelah tiga tahun lamanya tidak bertemu, karena memang sama-sama disibukkan dengan kesibukan masing-masing, akhirnya kami bertemu. Pertemuan tersebut terjadi di salah satu komisariat oganisasi ekstra kampus yang kebetulan sedang saya pimpin. Teman saya tersebut pengontak saya dan mengajak saya berdiskusi dengannya. Meski dia tidak memberitahukan masalah apa yang akan didiskusikan, namun saya sudah bisa menabak tema apa sebenarnya yang ingin diskusikannya. Saya masih ingat betul bagaimana diskusi tersebut terjadi. dan saya menikmati diskusi tersebut.

Menurut teman saya tersebut, sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, seharusnya Indonesia menjadi kiblat dunia Islam, dengan menjadikannya sebagai negara Islam untuk menyatukan ummat dan bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia dalam satu bendera Islam, yakni tegaknya Khilafah Islamiyah. Dia juga mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negara sekuler yang menganut sistem demokrasi dan faham nasionalisme yang kuat. Padahal, demokrasi itu adalah sistem negara yang berasal dari barat dan tidak dikenal dalam Islam. Dengan logika tersebut, dia berkayakinan bahwa tidak wajib hukumnya menta'ati ulil amri, pemerintahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam, karena pemimpin yang hanya boleh dita'ati adalah mereka yang berpegang teguh pada syariah.

Lebih lanjut dia menceritakan secara ringkas, bagaimana pemerintahan Islam di era Rosululloh dan Khulafa' Ar-rosyidin. Tentang bagaimana syariat Islam yang diterapkan pada saat itu membuat Islam menjadi kekuatan politik yang membuat dua imperium besar di barat (romawi) dan di timur (persia) berhasil ditaklukkan, sehingga Islam menjadi imperium yang sangat besar dan kuat, terhampar mulai India di timur hingga Spanyol di barat. Ia menyimpulkan bahwa kemunduruan ummat Islam dalam segala hal yang terjadi sekarang ini adalah karena ummat Islam tidak menggunakan syariat sebagai sistem bernegara. Ummat Islam terpecah-pecah oleh faham nasionalisme dan golonganisme yang menjadikan kekuatan persatuan Islam dunia menjadi tercerai berai.

Teman saya tersebut juga dengan penuh semangat menceritakan bagaimana konspirasi yang dilakukan barat dalam menghalangi kebangkitan Islam. Barat menggunakan berbagai cara untuk membungkam kebangkitan dunia Islam baik melalui menyebarkan faham-faham demokrasi, nasionalisme, liberalisme, HAM, dll. Selain itu, barat juga terus mensponsori suksesi kemimpinan negara-negara muslim dengan memback-up pemimpin-pemimpin Islam sekuler untuk berkuasa sehingga mudah mengendalikan negara muslim tersebut. Teman saya tesebut juga dengan fasih menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme barat menjadi lintah yang menyedot secara eksploitatif sumber-sumber kekayaan negara-negara muslim. Di akhir pengantarnya ia menyimpulkan bahwa wajib hukumnya bagi kaum muslim untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Islam dunia harus bersatu dalam satu bendera. Ummat Islam tidak boleh lagi terpecah dalam suku bangsa dan negara nasional. Nasionalisme adalah omong kosong. Kaum muslimin harus bersatu dalam ikatan akidah, bukan suku bangsa. Kaum muslimin harus bersatu dalam satu negara internasional yang menyatukan ummat Islam seluruh dunia dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Itulah beberapa penjelasan yang diberikan oleh teman saya tadi untuk meyakinkan saya tentang perlunya mendirikan negara Islam di Indonesia dan menyatukan kaum muslimin dalam Khilafah Islamiyah. Memang sangat menarik dan bombastis penjelasan teman saya tersebut. Visi menyatukan ummat Islam di dunia ini lah yang telah menarik beberapa kalangan untuk bergabung dengan organisasi politik Islam yang berasal dari yordan tersebut. Siapa yang tidak akan tertarik dengan cita-cita menyatukan ummat Islam se-dunia sehingga menjadi kekuatan politik yang besar dan kuat di tengah dominasi kekuatan hegemonik negara superpower amerika serikat. Siapa yang tidak akan tergiur dengan rencana menegakkan syariat Islam secara kaffah di tengah dekadensi moral generasi muda dan para elit politik negeri ini. Siapa yang tidak tertarik melihat penganjur negara Islam tersebut adalah pribadi yang taat beragama, santun dan konsisten melakukan 'dakwah' dengan sabar dan telaten. inilah kira-kira yang menjadi alasan kenapa pengikut organisasi Islam politik tersebut semakin lama semakin memiliki anggota yang cukup besar di Indonesia.

Namun demikian, saya adalah orang yang sama sekali tidak tertarik dengan ide dan gerakan Khilafah Islamiyah tersebut. Dalam kesempatan itu, saya menyampaikan realitas politik Islam paska Rosululloh terutama pada masa kepemimpinan Sayyidina Ustman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Saya lebih memilih 'membaca' suasana politik Islam secara internal di awal formasi kepemimpinan islam tersebut. saya menjelaskan bahwa politik dalam Islam telah banyak mengalirkan darah sahabat nabi. Politik bahkan membuat pertumpahan darah di antara sesama sahabat nabi, bahkan beberapa sahabat nabi yang telah dijamin masuk surga. Bagaimana konflik antara Ustman bin affan dengan Abdulloh bin abu bakar hingga membuat Utsman terbunuh. Bagaimana konflik politik yang terjadi antara Ali bin abi Thalib dengan Siti Aisyah, isti nabi Muhammad, hingga terjadi perang jamal. Bagaimana perseteruan politik juga terjadi antara Ali bin abi thalib dengan Muawiyah bin abi Sofyan (gubernur syam) yang dibantu oleh Amr bin Ash (Gubernur Mesir) hingga memunculkan golongan syi'ah dan khowarij yang menimbulkan konflik politik berkepanjangan bahkan hingga hari ini.

Belum lagi perebutan kekuasana di era Dinasti Umayah yang telah membuat konflik berkepanjangan antara anak turun Muawiyah (Yazin bin Muawiyah) dengan cucu Rosululloh sayyidina Hasan dan Husain hingga terjadi tragedi Karbala yang merenggut nyawa cucu kesayangan Nabi Muhammad tesebut. Konflik politik kukuasaan, menurut saya, telah merenggut esensi Islam sebagai agama yang penuh dengan kasih dan cinta terhadap saudara se-iman dan se-akidah. Pertikaian politik ini bahkan terus berlanjut antar generasi. ini ditandai dengan jatuh-bangunnya dinasti secara silih berganti. Dinasti Abbasiyah misalnya, merupakan representasi dari anak cucu Abdulloh bin Abbas, paman rosululloh, yang gagal mengorbitkan pemimpin Islam dari kalangan keluarga besarnya dan kalah bersaing dengan Muawiyah bin abi Sofyan dalam memperebutkan legitimasi politik ummat Islam paska terbunuhnya Sayyidina Ali RA. Pertumpahan darah juga terus saja terjadi dalam setiap suksesi kepemimpinan Islam dalam memperebutkan jabatan sebagai kholifah di dalam dinasti-dinasti yang pernah ada dalam sejarah politik Islam.

Inilah yang membuat saya sama sekali tidak tertarik dengan gagasan Khilafah Islamiyah. Logika sederhananya, kalau para shabat Rosululloh yang mendapatkan ajaran dan bimbingan langsung dari Rosululloh saja mengalami perpecahan politik yang berdarah-darah seperti itu, bagaimana dengan ummat Islam yang sekarang ketika nanti memperebutkan jabatan sebagai Hholifah? Dengan begitu banyaknya faham dalam Islam, madzhab, dan khususnya semakin banyak pula interest group dalam Islam, maka mustahil Khilafah Islamiyah akan terwujud, kalaupun dapat terwujud pasti akan terjadi perang saudara dan dendam politik yang tak berkesudahan antar sesama ummat Islam.

Saya katakan dalam pertemuan tersebut, bahwa sistem bernegara tidak diatur dalam Islam. Tidak ada penjelasan qot'i bahwa sebuah negara kaum muslimin harus berdasarkan pada sistem Kholifah dan menjadikan syariat Islam secara formal sebagai dasar bernegara. ummat Islam bebas menggunakan sistem negara dan pemerintahan, tergantung dengan kebutuhan dan konsensus sosial secara umum. Doktrin dalam Islam hanya menganjurkan untuk selalu bermusyawaroh "wasawirhum fil amr" sebagaimana selalu dicontohkan oleh Rosululloh yang selalu mengajak musyawarah para sahabat ketika tidak ada petunjuk langsung melalui wahyu. Dan saya pikir bahwa demokrasi di Indonesia memiliki perinsip-perinsip musyawarah tersebut. Saya tidak setuju istilah sekuler tersebut di sematkan pada sistem demokrasi di indonesia, karena prinsip-prinsip ketuhanan dan musyawarah (esensi ajaran sosial dalam islam) juga terdapat dalam sistem demokrasi yang ada di indonesia. Cuma beda bahasa saja, bahasa arab dan bahasa inggris, subtansinya secara umum sama.

Demikian juga faham Nasionalisme adalah produk dialektika kebangsaan post-kolonial. Semangat nasionalisme lah yang telah menghantarkan sebagian besar negara-negara di asia dan afrika keluar dari penjajahan Eropa di era perang dunia II. Jadi nasionalisme bukanlah faham untuk memecah belah ummat Islam, nasionalisme adalah faham kebangsaan yang sangat realistis sebagai dasar sosiologis berdirinya sebuah negara modern. Jadi menurut saya sangat berlebihan kiranya ketika faham nasionalisme di 'tuduh' sebagai penyebab perpecahan ummat Islam secara politik.

Sejarah telah menjelaskan kepada kita bahwa perpecahan ummat Islam adalah dikarenakan perpecahan politik akibat perebutan kekuasaan diantara ummat Islam itu sendiri. Bahkan secara ekstrim saya katakan pada teman saya tersebut, janganlah suasana demokrasi yang terus melakukan perbaikan di Indonesia 'diganggu' oleh gerakan-gerakan Islam 'asing' yang sama sekali tidak memiliki akar historis dan sosiologis di Indonesia. Janganlah suasana Islam yang damai bangsa ini ditarik-tarik ke dalam konflik-konflik Islam timur tengah.

Tidak terasa waktu terus bejalan dan semakin larut, kami mengakhiri diskusi tersebut meski tidak ada titik temu diantara kami. Sebelum teman saya tersebut pulang, saya mengatakan padanya sambil menepuk lengannya, saya katakan, "Ide Negera Islam Khilafah Islamiyah menurut saya, sangatlah ideal, saking idealnya ide tersebut hanya akan menjadi sebuah ide dan mimpi-mimpi yang utopis bahkan hanya merupakan ilusi" . Dengan penuh semangat teman saya tersebut menjawab, "kami akan terus memperjuangkan apayang kami yakini, memang butuh waktu lama, mungkin seratus tahun atau lebih, tapi kami yakin suatu saat mimpi itu akan terwujud". Dalam hal ini saya kagum dengan teman saya itu yang terus berupaya untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, tapi saya juga gusar ketika dia terus-menerus mengajak anak-anak bangsa ini untuk menjadi pendukungnya, menjadi orang yang anti-NKRI. Wallu'alam.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar