Minggu, 31 Oktober 2010

Mereka yang Dikenang dan Abadi Sepanjang Masa

Mereka yang Dikenang dan Abadi Sepanjang Masa
M. Aliyulloh Hadi

Kita tentu mengenal Fir'aun, Raja Mesir Kuno yang dikenal dengan nama Ramses II yang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan, yang dikenang sepanjang masa. Kita pasti juga sangat akrab dengan Alexander The Great, Raja Macedonia-Yunani dan panglima perang tangguh yang mamiliki kekuasan mulai dari Eropa, Afrika hingga Asia. Begitu juga kita sangat akrab dengan nama semisal, Ibrahim, Plato, Sokrates, Aristoteles dan tokoh-tokoh dunia lain yang hidup sebelum masehi (sebelum Nabi Isa). Nama-nama tersebut juga dikenang sepanjang masa.

Sebagai seorang muslim, tentu kita adalah pemuja Muhammad SAW, seorang Nabi dan Rosul terakhir, dimana hingga hari ini, ratusan juta orang menyebut namanya tiap hari. Begitu juga sebagai muslim yang baik, kita tentu sangat akrab dengan para sahabat nabi yang terpilih, Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abu Ubaidah, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqos, Zubair bin Awwam dan para sahabat dekat Nabi Muhammad yang lain. Mereka adalah sederet nama yang tentu menjadi sangat kita puja, kita hormati dan tentunya kita jadikan teladan.

Di era Modern, kita juga banyak mengenal tokoh-tokoh dunia. Kita mengenal tokoh tokoh pejuang HAM semacam Gandhi dan Nelson Mandela. Kita juga tidak Asing dengan Pemimpin Fasis Adolf Hitler dan Beneto Mussolini, yang konon telah melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan rakyat tak berdosa. Selain itu, Kita juga sangat akrab dengan para intelektual modern sejak Hegel hingga Albert Einstein. Beberapa dari kita juga mengidolakan para pemikir islam modern, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, hingga Ahmad Dahlan. Sebagian dari kita juga sangat mengidolakan tokoh islam tradisional seperti syeh Maliki, KH. Hasyim Asy'ari maupun KH. Wahab Hasbulloh, punggawa islam tradisinal Indonesia.

Sederet nama di atas hanya sebagai ilustrasi bahwa di dunia ini terdapat banyak manusia yang dikenang sepanjang masa. Meski mereka telah meninggal ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, meski kini mereka telah menyatu dengan tanah, namun nama mereka masih diingat dan dikenang olah setiap generasi.

Sebagai seorang yang masih hidup, tentu kita patut untuk bertanya, mengapa mereka dikenang? Apa sebenarnya yang telah mereka lakukan sehingga mereka abadi? Bukankah terdapat jutaan manusia lain yang hidup bersamaan dengan mereka? Inilah mungkin beberapa pertanyaan yang menurut penulis penting untuk kita renungkan barang sejenak. Paling tidak dari sanalah kita mendapatkan hikmah dari kisah-kisah masa lalu untuk dijadikan pemandu kita dalam menjalani kehidupan ini. Dari Kisah-kisah masa lalu, kita bisa belajar bagaimana seharusnya menjalani hidup ini. Banyak sekali model dan warna kehidupan yang bisa kita teladani dan kita tiru.

Sebagai sebuah panggung sandiwara raksasa, dunia ini memiliki peran-peran layaknya sebuah drama, tepatnya drama kehidupan. Ada tokoh antagonis, ada pula tokoh protagonis. Ada yang berperan sebagi good guys ada pula yang memiliki peran sebagai bad guys. Pendek kata, cerita dalam hidup ini penuh dengan warna. Beberapa dari manusia memilih peran untuk menyayangi, membantu dan selalu berbuat baik kepada sesama, sebagian yang lain memilih peran yang sebaliknya. Dari sejarah kita berkaca, bagaimana Nabi Musa dan Fir'aun menjadi tokoh yang memiliki peran yang sangat bertentangan, yang satu menyeru untuk menyembah kepada Tuhan yang Esa, satunya lagi malah mengaku sebagai tuhan. Namun demikian, ada satu persamaan di antara mereka berdua, mereka sama-sama abadi, sama-sama dikenang sepanjang masa.

Secara umum dapat kita tarik sebuah kesimpulan sementara, bahwa mereka yang abadi hingga hari ini adalah pribadi-pribadi yang unik, berani berbeda, berani mengambil resiko, dan beberapa langkah lebih maju dari masyarakat umum pada masanya, dan tentunya secara konsisten memperjuangkan apa yang mereka pilih dan yakini.

Nabi Ibrahim adalah contoh bagaimana ia berani berbeda dengan masyarakat pada umumnya, berani mengambil resiko dan pastinya selalu konsisten. Nabi Ibarahim terus memperjuangkan keyakinannya meskipun ditentang oleh masyarakat bahkan orang tuanya sendiri. Dia juga tidak pernah gentar terhadap hukuman dibakar hidup-hidup yang diberikan kepadanya.

Di samping itu, terdapat pula tokoh antagonis, yang meski dikenal sebagai biang keladi kerusakan dan teror, nama mereka dicatat dalam sejarah. Ini sesungguhnya menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya, bahwa di dunia ini terdapat model peran yang tidak baik yang tidak boleh ditiru. Bisa dikatakan, mengenal mereka hanya sebagai pengetahuan, bahwa mereka yang jahat akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Sebagai manusia, kita memiliki kemerdekaan untuk memilih menjadi seperti siapa dan bagaimana menjalani kehidupan ini. Kita juga bebas untuk menjadi diri sendiri. Namun demikian, sebagai manusia yang beragama, tentu kita tahu bahwa apa yang kita pilih harus juga dapat kita pertanggungjwabkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Sang Pencipta.

Kita dapat memilih untuk menjadi orang baik dan kita juga dapat memilih menjadi orang yang tidak baik. Semuanya adalah pilihan bebas dan kita sendiri yang harus bertanggungjawab. Yang jelas, siklus kehidupan berjalan seperti biasanya, dilahirkan, tumbuh, dan akhirnya mati. Semuanya akan mengalami siklus itu. Kita tidak tahu apakah nanti nama kita akan dikenang dan abadi, atau hanya bernasib seperti orang kebanyakan, hilang ditelan waktu. Namun yang pasti, dikenang atau tidaknya seseorang tergantung pada apa yang telah dilakukan semasa hidupnya. Kata Andrea Hirata, "Ini bukan tentang seberapa besar mimpi-mimpi itu, namun ini tentang seberapa besar kita untuk meraih mimpi itu". Wallohu'alam...

Sabtu, 30 Oktober 2010

Ajaran dan Tradisi

Ajaran dan Tradisi
Oleh: M. Aliyulloh Hadi

Beberapa saat yang lalu ummat Islam di Indonesia dan dunia pada umummnya, merayakan hari besar Islam, Iedul Fitri. Gegap gempita takbir mengiringi berlalunya bulan Ramadhan yang mana selama 30 hari ummat Islam -yang taat- melaksanakan ibadah puasa. Iedul Fitri di indonesia bukan hanya memiliki nilai teologis dan spritual yang mendalam, namun juga memiliki nilai sosiologis bahkan ekonomi yang dahsyat. Masyarakat kita lebih mengakrabkan diri dengan istilah "lebaran" untuk menggantikan istilah "Iedul Fitri" yang arab. Lebaran menjadi semacam 'lokus spritual' yang menstimulus munculnya kembali dimensi tradisi ketimuran. Semacam kompromi Ajaran dan Tradisi. Lebaran di Indonesia menjadi semacam perekat persaudaraan keluarga, tetangga, kerabat, sahabat dan antar sesama ummat Islam secara umum. Kita saksikan betapa lebaran telah membuat jalanan menjadi macet akibat arus mudik dan arus balik. Bagaimana kampung yang biasanya sepi menjadi sangat ramai, dan kota-kota besar yang biasanya ramai menjadi sepi. Lebaran menjadi ajang silaturrahmi yang mulai terkikis oleh modernitas kota. Lebaran di indonesia memiliki dampak sosial yang justru menyemarakkan tradisi lokal. Ketimbang perayaan Iedul Fitri di negara berpenduduk muslim lainnya, Iedul Fitri di Indonesia memiliki kesan spritual dan sosial sekaligus.

Sebagai seorang muslim, kita tentu dapat membedakan antara ajaran Islam dan tradisi. Ajaran Islam dan tradisi di Indonesia memiliki keunikan yang menarik, yakni terjadinya asimilasi bahkan persenyawaan yang sinergis. Asimilasi tersebut bisa kita saksikan bukan hanya pada momentum Iedul Fitri. Hampir semua ajaran Islam di indonesia memiliki persenyawaan kultural yang sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Misalnya tradisi Selametan, Kendurenan, Tahlil dan lain sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam di Indonesia yang dibawa secara damai oleh para muballig sufi muslim yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap khasanah tradisi lokal (local genius).

Strategi da'wah yang diterapkan oleh para penganjur Islam di Indonesia pada masa lalu adalah melakukan 'islamisasi' terhadap tradisi. Tentu saja ini merupakan suatu trobosan da'wah Islam yang cerdas dan humanis dan terbukti efektif me-muslimkan sebagian besar masyarakat Indonesia yang saat itu masih beragama Hindu-Budha dan bahkan Animisme. Penganjur Islam pada masa lalu yang lebih terkenal dengan sebutan Wali Songo, telah berhasil menyentuh dimensi esotoris Islam sehingga islamisasi yang terjadi saat itu terjadi secara wajar, alami, pelan-pelan namun pasti.

Tentunya ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita ummat Islam pada umumnya bagaimana sesungguhnya model da'wah Islam yang efektif. Metode da'wah Wali Songo bisa menjadi rule model dalam menjaga Islam yang hingga hari ini membuat Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia.

Selain itu, Wali Songo juga berhasil mendirikan kerajaan Islam di jawa yang menjadi legitimasi formal islamisasi di indonesia khususnya di Jawa. Demak Bintoro menjadi simbol bagaimana strategi da'wah yang diterapkan untuk mengislamkan nusantara juga terjadi melalui jalur-jalur kekuasaan politik. Meski tidak berlangsung begitu lama (akibat agresi portugis dan kolonialisasi belanda), kerajaan Islam tersebut memiliki arti strategis bagi islamisasi yang terjadi di Indonesia. Kalau boleh berandai-andai, seandainya tidak ada kolonialisasi eropa di nusantara, sangat mungkin Indonesia sekarang ini masih menjadi kerajaan Islam warisan Demak Bintoro. Namun juga seandainya tidak ada era kolonial, sepertinya tidak akan ada yang namanya negara indonesia.

Kembali lagi ke soal tradisi. Sebagai seorang muslim yang baik, tentu kita harus membedakan mana tradisi dan mana yang ajaran Islam. Ini penting sebagai bentuk manifestasi Tauhid. Pemahaman kita terkait dengan ajaran Islam dan tradisi akan membuat kita ber-Islam dengan banar tanpa harus kehilangan jati diri sebagai mahluk kultural.

Ajaran Islam yang paling pokok adalah Tauhid. Tauhid mengajarkan bahwa Alloh itu Esa. Tauhid mengajarkan kita bahwa kita hanya mengabdi kepada Alloh, hanya kepada Alloh. Tidak ada sekutu dan tidak boleh menyekutukan-Nya. Hanya kepada-Nya kita berlindung dan hanya kepada-Nya lah kita meminta pertolongan. iyyaka na'budu waiiyaka nasta'in.

Tauhid, yang termanifestasikan dalam syahadat, memiliki dua konsekuensi, yaitu negasi dan konfirmasi. Lailaha adalah sikap menegasikan semua tuhan-tuhan kecil yang berada di sekeliling kita, sedangkan Illalloh merupakan konformasi, peneguhan bahwa hanya Alloh lah Tuhan yang wajib disembah. Bukan Harta, bukan Dunia, bukan pula Ideologi. Hanya Alloh lah tempat untuk menyembah. Tauhid dalam Islam menjadi "The Mother of doctrines", yang menjadi parameter keimanan seorang muslim. Inilah yang membuat Marshall Hudson menyebut islam sebagai "strict monotheism", monotheisme ketat dan murni. Monotheisme tanpa kompromi, tidak rumit dan tanpa ilusi penafsiran sebagaimana yang terjadi pada konsep trinitas nasrani.

Tradisi adalah produk sosiologis manusia. Tradisi merupakan sistem nilai yang terbentuk dari proses interaksi dan sosialisasi manusia. Jadi perbedaan yang mendasar antara ajaran dan tradisi adalah bahwa tradisi adalah sistem nilai yang terbentuk dan tercipta oleh manusia, sedangkan ajaran adalah tata nilai dan aturan yang diciptakan oleh Tuhan yang menjadi basis teologis agama tertentu. Dalam konteks Islam di Indonesia, tradisi menjadi media manifestasi ajaran Islam dan sebaliknya ajaran islam juga menjadi media manifestasi tradisi. Ajaran Islam dan tradisi di Indonesia menjadi 'rukun', dan sinergis. sederhananya, tradisi di Indonesia telah di Islamkan. Sesuatu yang 'sekuler' menjadi sangat relijius, karena disisi dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Sehingga, sebenarnya watak dasar Islam di Indonesia adalah Islam yang mengedepankan subtansi ajaran, lebih mengedepankan dimensi esoteris ketimbang eksoteris agama, lebih memperhatikan content ketimbang chasing ajaran. Islam di Indonesia merupakan model dari Islam tengah yang sangat toleran, moderat, sangat menghargai tradisi, dan bahkan dalam beberapa hal, menyatu dengan tradisi itu sendiri. Model seperti inilah yang membuat Islam di Indonesia mampu bertahan ratusan tahun, menjadi model Islam Rahmatan lil'alamin, menjadi pelopor Islam yang menghargai perbedaan dan kebinekaan tradisi. wallohu'alam..

Kamis, 28 Oktober 2010

Media, Artis dan Modal

Media, Artis dan Modal
M. Aliyulloh Hadi

Beberapa dari kita mungkin kaget ketika mengetahui bahwa pendapatan seorang artis dalam setiap bulannya melebihi pendapatan seorang bupati, menteri bahkan seorang presiden sekalipun. Sule Misalnya, artis dan komedian Opera Van Java memiliki penghasilan 1 milyar setiap bulannya. Demikian pula Tukul arwana, host program Bukan empat mata, juga memiliki pendapat yang sangat tinggi, lebih dari 1 milyar setiap bulannya. Bayangkan saja, berarti sule dan tukul memiliki pendapatan 12 miliyar setiap tahunnya, itu belum pendapatan dari iklan dan kontrak-kontrak komersial lainnya.

Mungkin kita akan bertanya-tanya, bagaimana bisa profesi seorang artis di dunia hiburan menjadi sangat prestisius, paling tidak dalam hal perolehan materi. Bukankah sebenarnya masih banyak profesi yang 'lebih' memiliki manfaat sosial yang sangat tinggi meski apresiasi secara material sangat kurang, guru ngaji misalanya. Realitas tersebut adalah sebuah fakta yang terjadi di sekitar kita hari ini dan saat ini.

Realitas profesi artis yang saat ini menjadi trend dan impian hampir kebanyakan kaula muda inilah yang tentu membuat kita perlu merenungkankannya sejenak, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Note pendek ini berusaha meraba-raba fenomena tersebut. Sebagimana dikatakan Marshall Mcluhan (1962) bahwa penemuan teknologi elektronik menciptakan loncatan-loncatan peradaban manusia yang merubah pola pikir dan perilaku masyarakat, bahkan dapat merubah peradaban manusia itu sendiri. Mcluhan menyebutnya dengan Technological Determinism (determinisme teknologi). Inilah mungkin teori yang dapat menjelaskan kepada kita bagaimana memandang fenomena Media dan Artis.

Sederhananya, bahwa penemuan tekhnologi terutama teknologi digital baik televisi maupun internet telah merubah tatanan sosial tradisional, termasuk di dalamnya merubah struktur dan konstruksi sosial yang sudah mapan. Sebelum ditemukannya televisi, seorang artis tradisional hanyalah profesi yang tidak lebih baik dari seorang pedagang asongan yang menjajakan 'seni' nya. Saat itu, apresisi terhadap dunia hiburan hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu.

Ini sangat berbeda dengan dunia hiburan di era mutakhir seperti sekarang ini. Di era modern, dunia hiburan menjadi konsumsi setiap hari. Sistem kapitalisme liberal membuat dunia hiburan semakin menjamur dan laris manis. Menjadi komoditas yang menggiurkan. Media, Hiburan, Pruduksi, konsumsi dan modal menjadi sangat berkaitan dan saling menopang satu dengan yang lainnya. Sistem operasi nya sebagai berikut; Media menyajikan hiburan dan bebagai macam acara, Kapitalis menyewa media dengan memasang iklan komoditas yang akan dijualnya, pemirsa menyaksiakan acara hiburan tersebut dan sekaligus melihat iklan, dan -- kebanyakan ndari mereka --terpengaruh. Akhirnya pemirsa membeli produk yang diiklankan.

Begitulah perputaran kapital dalam dunia bisnis media modern. Artinya, sebenarnya yang membayar Sule dan Tukul itu adalah Penikmat televisi yang membeli produk-produk yang diiklankan. Saya membayangkan, Seandainya saja terjadi mogok Nasional untuk tidak menonton televisi dan itu berhasil barang sebulan saja, saya yakin bisnis media akan kolaps dan gulung tikar.

Maka sebagai pemirsa media yang bijak, tentu kita perlu memilih secara cerdas tanyangan mana yang baik dan mana yang tidak baik, produk mana yang memang dibutuhkan untuk dibeli, dan mana yang tidak. janganlah kita membeli produk-produk kapitalisme hanya berdasakan asas 'perlu'. Karena menurut Marx, Kaum kapitalis itu piawai menyulap segala sesuatu menjadi komoditas (Fetism of Coomodity). Dan pasti nya kita telah tertipu, kalau kemudian kita menjadi sangat konsumeris. Wallu'alam....